Jenis Morfem Berdasarkan Jumlah Fonem Yang Menjadi Unsurnya

          Jenis Morfem Berdasarkan Jumlah Fonem yang Menjadi Unsurnya.


Morfem-morfem segemental yang digunakan dalam bahsa Indonesia pastinya berunsur fonem. Morfem dalam bahasa Indonesia apabila ditinjau dari jumlahnya ada yang berunsur satu fonem . tetapi ada juga yang berunsur lebih dari satu fonem. Monofonemis adalah sebutan untuk morfem yang memiliki satu unsure fonem, sedangkan unuk morfem yang berunsur lebih dari satu fonem disebut polifonemis. monofonemis, misalnya morfem {-i} dalam memetiki dan {a-} dalam asusila. Polifonemi memiliki contoh sebagai berikut {-an}, {di-}, {ke-} (dua fonem); {ber-}, {meN-}. {dua}, {itu}, {api}, (tiga fonem); {satu}, {baik}, {daki}, (empat fonem); {serta}, {makin}, {lampu} (lima fonem); {lemari}, {saring}, {bentul} (enam fonem); {cokelat}, {benterok} (tujuh fonem); {semboyan}, {kerontang} (delapan fonem); {sederhana}, {penasaran}, {selenggara} (Sembilan fonem); {halilintar}, {malapetaka} (sepuluh fonem); {semenanjung} (sebelas fonem) (Muslich,2010: 21).
Morfem monofonemis dalam bahasa Indonesia sangat sedikit sekali, bila dibandingkan dengan morfem yang polifonemis hal itu dapat kita ketahui dari paparan contoh di atas. Secara konkret, morfem yang monofonemis itu hanya berada dalam morfem afiks, sedangkan morfem-morfem yang berjenis lain belum ada yang monofonemis. Morfem yang polifonemis iniberbandingterbalikdenganmorfem yang monofonemis, morfem yang polifonemis ini jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan morfem yang monofonemis dalam pengggunaannya di dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, apabila dilihat dari frekuensi morfem-morfem polifonemis yang ada, morfem yang berunsur antara empat, lima, dan enam fonemlah yang paling banyak frekuensinya;  sedangkan morfem yang berunsur dua, tiga, dantujuh, delapan, Sembilan, sepuluh, sampai sebelas fonem berfrekuensi di bawahnya. Dari sini, kiranya telah terbayang bagaimana gambaran morfem dalam bahasa Indonesia ditinjau dari segi unsurnya.
Sebagai contoh lain bahwa morfem Monofonemis hanya terdiri dari satu fonem (a- dan i-) sedangkan morfem Polifonemis terdiri dari banyak fonem (-moral dan –legal) adalah dalam kata “amoral dan ilegal”, di contoh tersebut morfem Polifonemis “moral” mendapatkan imbuhan prefiks berupa morfem Monofonemis “a” dan menjadi sebuah bentuk kata amoral (a dan moral). Begitu juga dengan kata illegal yang terdiri dari gabungan antara morfem Monofonemis “i” dan Polifonemis  “legal” dan menjadi sebuah bentuk kata “ilegal”


A. JenisMorfemBerdasarkanKeterbukaannnyaBergabungdeganMorfemLainnya.
Morfem-morfem bahasa Indonesia dalam pemakaiannya ada yang mempunyai kemungkinan bergabung dengan morfem lain dan ada yang tidak. Pada umumnya, morfem {meN-} dan {ber-} mengawali bentukan kata, misalnya kata menarik, mengerti ,dan berlaku. Di sampingitu, kata-kata yang berawalan dengan {meN-} dan {ber-} masih membuka kemungkinan digabungi dengan morfem prefix lainnya, dalam hal ini prefix {di-}; sehingga ketiga kata di atas menjadi dimenarikkan,  dimengerti, dan diberlakukan. Selain itu, kata-kata yang berawalan dengan {per-} juga masih membuka kemungkinan digabungi dengan morfem prefix lain,  dalam hal ini adalah {mem-}. Misalnya pada perbaiki menjadi memperbaiki, pelajar menjadi mempelajari, perdaya menjadi memperdaya, peroleh menjadi memperoleh. Begitu juga dengan kata-kata yang berawal dengan {ke-} juga masih membuka kemungkinan digabungi dengan morfem prefix lain, dalam hal ini prefix {ber-}. Misalnya kata keinginan menjadi berkeinginan, kemauan menjadi berkemauan, ketuhanan, menjadi berketuhanan. Di samping itu masih banyak lagi kata lain yang terdiri dari gabungan dua prefiks, seperti diperlihatkan (Muslich, 2010: 22).
Sifat terbuka yang terdapat pada morfem prefiks {meN-} dan {ber} di atas tidak terdapat pada morfem prefiks {di-}. Kata-kata yang berawal dengan morfem {di-} sudah tertutup dari kemungkinan untuk digabungi oleh morfem prefix lainnya. Misalnya, kata dipukul, dilempar, dan dicabut tidak memliki kemungkinan untuk digabungi dengan prefix lainnya baik berupa {meN-}, {ber-}, atau {ter-} (Muslich, 2010: 22).
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang kaya dan banyak kata-katanya yang sejenis, di sini ada contoh sepasang kata yang sejenis. Kata aspek sudah dan telah yang tergolong bersinonim, misalnya, ternyata mempunyai sifat keterbukaan yang berbeda. Kata sudah dapat dibentuk menjadi konstruksi yang lebih luas dari pada kata telah. Kata sudah bisa juga ditambahi dengan imbuan morfem {di-i}, (meN-i}, dan {ke-an}, sehingga menjadi disudahi, menyudahi, dan kesudahan, tetapi kata telah tidak dapat demikian. Kata telah tidak dapat mempunyai kemungkinan untuk ditambahi dan dibentuk dengan morfem afiks tersebut, sehingga tidak akan mungkin bisa berbunyi ditelahi, menelahi, dan ketelahaan. Contoh lain yang analog adalah pengunaan bentuk kata mungkin dan barangkai yang bisa menurunkan bentuk kemungkinan, memungkinkan, termungkin, dimungkinkan tetapi tidak diterima adanya bentuk *kebarangkalian,*membarangkalikan, *terbarangkali *dibrangkalikan.
Kata-kata benda yang dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan sebuah pekerjaan, misalnya cangkul, palu, jarum, dan tongkat, mempunyai sifat keterbukaan yang sangat berbeda, misal dalam kasus cangkul dan palu, mereka berdua dapat di dibentuk menggunakan konstruksi yang lebih besar karena bisa ditambahi dengan imbuhan afiks {di-} dan {meN-} sehingga menjadi, dicangkul, mencangkul, dipalu, dan memalu. Sedangkan untuk jarum dan tongkat, maka kasusnya berbeda, kedua kata benda tersebut tidak dapat dibubuhi dengan imbuhan morfem afiks baik {di-} atau {meN-}, Karena untuk mendapatkan istilah penggunaan jarum sebagai alat untuk bekerja dan melakukan pekerjaan menggunakan alat yang berupa tongkat tidak ada penutur bahasa Indonesia yang menggunakan “menjarum” dan “menongkat”. Konsep ituhanya dapat menggunakan bentuk urai, misalnya menjahit dengan jarum dan memukul dengan tongkat .Oleh sebab itu,  bentuk cangkul dan palu dikatakan sebagai bentuk terbuka. Sedangkan jarum dan tongkat dikatakan sebagai bentuk tertutup.
B. Jenis Morfem Berdasarkan Bermakna Tidaknya.
Atas dasar bermakna tidaknya morfem, morfem bisa dikelompokkan kedalam dua kelompok, yaitu kelompok yang bermakna dan kelompok yang tidak bermakna. Morfem kelompok bermakna sesuai dengan namanya selalu bermakna; oleh karena itu bisa dicari dalam kamus-kamus umum. Contohnya lapar, lapor, kuda, merah, genit, dan lain-lain. Karena morfem langsung bermakna, dan maknanya bisa diperiksa dalam kamus, ia bisa juga disebut morfem leksikal. Morfem kelompok tidak bermakna seperti bisa anda tebak memang tidak punya makna (sendiri). Contoh {Ter-}, {di-}, {peN-}, {se-}, {-i}, {-an}, {-el}, dan lain-lain. Kelompok kedua ini baru diketahui maknanya bila sudah berada dalam konstruksi yang lebih besar, atau dikatakan lebih melekat pada bentuk-bentuk dasar, bentuk dari kelompok pertama. Karena itulah, morfem-morfem ini disebut morfem gramatikal. Sebagai contoh, taruhlah morfem {ter-} dalam kontruksi kata terdakwa misalnya, ter- bermakna’yang di-…’, sedangkan ketika berada dalam kontruksi kata tertipu ‘dapat di-…’, lain lagi saat melekat pada konstruksi terinjak, ia bermakna ‘tak sengaja di-…’ (Muslich, 2010: 24).
Seperti bisa dilihat, semua morfem yang selama ini kita sebut sebagai imbuhan (awalan, akhiran, sisipan, dan konfiks) termasuk anggota kelompok morfem gramatikal.Bagaimana dengan imbuhan lainnya, misalnya imbuhan pungutan dari bahasa asing? Semua imbuhan bahasa Indonesia asli tidak pernah –dan tidak akan pernah- bisa menjadi morfem bebas; karenanya, ia juga tidak akan pernah menjadi anggota morfem leksikal. Akan tetapi, akhiran –isme misalnya, yang dalam pembentukan baru kata-kata bahasa Indonesia berproduktivitas tinggi, sudah bisa diketahui maknanya tanpa harus melekat pada bentuk-brntuk (dan akhirnya menghasilkan konstruksi) seperti Marhaenisme,feodalisme, sosialisme, klobotisme, anda akan tahu bahwa makna isme bermakna ‘paham’ atau ‘pandangan’ atau ‘aliran’. Jangan kaget, bila suatu saat anda menemukan isme lepas sama sekali dari bentuk dasar

Harus diakui, percakapan seperti ini memang jarang.Bagaimana nanti, dapatkah afiks anti,pro, dan kontraberuntung seperti isme? Ataukah ini baru merupakan  fenomena awal? Entahlah.
Dikotonomi morfem bermakna leksikal dan tidak bermakna leksikal ini, untuk bahasa Indoesia timbul sebuah masalah. Morfem-moerfem seperti {juang}, {henti}, dan {gaul} memiliki makna leksikal atau tidak. Kalau dikatakan memiliki makna leksikal, pada kenyataannya morfem-morfem itu belum bisa digunakan sebagai pertuturan sebelum mengalami proses morfologi. Kalau dikatakan tidak bermakna leksikal, pada kenyataannya morfem-morfem tersebut bukanlah afiks.
Menurut Chaer (2015: 20), Dalam hal ini barangkali perlu dibedakan antara konsep atau kategori gramatikal kategori semantik. Secara gramatikal bentuk-bentuk tersebut memang tidak dapat langsung digunakan dalam sebuah pertuturan.Namun, secara semantic bentuk-bentuk tersebut tetap memiliki makna leksikal.
Ada satu masalah lagi berkenaan dengan morfem bermakna leksikal ini, yaitu morfem –morfem yan berkategori gramatikal sebagai preporsisi dan konjungsi.Banyak pakar (seperti Keraf 1986 dan Parera1988) yang menyatakan bahwa kelas-kelas preposisi dan konjungsi tidak memiliki makna leksikal, dan hanya mempunyai fungsi gramatikal.Sebenarnya sebagai morfem dasar, dan buka afiks, semua morfem preposisi dan konjungsi memiliki makna makna leksikal.Namun, kebebasannya dalam pertuturan memang terbatas.Meskipun keterbatasannya tidak seketat morfem afiks.Dalam morfologi morfem-morfem yang termasuk preposisi dan konjungsi memiliki kebebasan seperti morfem bebas lainnya; hanya secara sintaksis keduanya terikat pada satuan sintaksisnya (Chaer, 2015: 21).













DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Masnur. 2010. Tata Bentuk Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Bumi Aksara.
Matthews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
Kuat, Muji. 2010. Morfem, Morf, Alomorf, dan Kata http://mujikuat.blogdetik.com/about-2-2 .               Semarang.
Chaer, Abdul.2015. Morfologi bahasa Indonesia(pendekatan proses). Jakarta: Rineka cipta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Afiksasi Pembentukan Verba

Morfologi dan Ilmu Kebahasaan lain, Unsur (Kontruksi Kata)